Wednesday, August 12, 2009

di atas sejadah cinta (episode 2)

Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu
yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik
seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak
terhitung jumlahnya.
Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira.
Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera
yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil
mendendangkan syair-syair cinta,
“in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si
musyriqun bi dhau’
wal hubb al wariq…”
(jika aku pencinta malam maka
gelasku memancarkan cahaya
dan cinta yang mekar…)

Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah,
kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang
ibu berkata, “Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik syairsyair
yang ia dendangkan.”
“Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang di pasar
aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.”
“Bagaimana, kau terima atau…?”
“Ya jelas langsung aku terima. Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang
budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah
dan tampan.”
“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?”
“Tak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang
paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”
“Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”
“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Afirah, dia pasti juga akan tobat! Yang penting
dia kaya raya.”
Pada saat yang sama, di sebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda
tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya seorang penari melenggak lenggokan
tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.
“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.
“Be…benarkah?”
“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini,
Yasir!”
“Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.”
Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari
mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari-nari diiringi
irama seruling dan gendang. Keduanya benar-benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan
mesra penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir,
“Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?”
Yasir tersenyum dan menganggukan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara
gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking. Aroma arak menyengat nurani.
Hati dan pikiran jadi mati.

***bersambung~~

0 comments :