Wednesday, September 2, 2009

di atas sejadah cinta (episode 3)

Keesokan harinya.
Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk
saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran.
Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaranya yang sakit.
Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa kebun
itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun
kurma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu
semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan
itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya menangkap suara,
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan
langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa
menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.
“Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”
Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat
dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca
shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat
tangan kanannya dan berkata keras,
“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”
Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika.
Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid
mendekati perempuan itu dan menyapanya,
“Assalamu’alaiki. Kau tidak apa-apa?”
Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap
Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,
“Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat
jatuh.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu
Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa
sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan memesona,
“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau ke
mana Tuan?”
Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih memesona.
Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia
menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu
pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah
hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat-cepat
menundukkan kepalanya. “Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.
“Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang sakit.”
“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya cuma di dalam
masjid?”
“Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain.” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu
melangkah.
“Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita
belum selesai!”
“Aku mau melanjutkan perjalananku!”
Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zahid. Terang saja Zahid gelagapan.
Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Seumur hidup ia
belum pernah menghadapi situasi seperti ini.
“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di
sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang
dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”
Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.
“Tidak usah.”
“Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”
Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali
mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.

0 comments :